KONFRONTASI REPUBLIK INDONESIA DENGAN MILITER JEPANG MENJELANG MASUKNYA SEKUTU 1945-1946
Abstract
Perlawanan pejuang (laskar, BKR kemudian TKR) dengan militer Jepang di Indonesia ditandai dengan peristiwa perlucutan senjata oleh pejuang tersebut. Berbagai insiden terjadi disebabkan baru saja Jepang memperlihatkan sikap tegas dalam menjajah, tiba-tiba semua berubah dengan sikap menyerah kepada Sekutu. Bagi Indonesia kondisi ini sebenarnya merupakan peluang untuk melengkapi diri dari segi peralatan perang yang akan menjadi aset bagi pasukan perangnya. Tetapi hal itu menjadi sulit karena sesuai aturan hukum perang internasional tentang tawanan perang, selain pasukan Jepang turut diserahkan seluruh peralatan perangnya. Beberapa daerah sempat menerima atau pun merampas persenjataan tersebut, namun kemudian direbut kembali oleh Militer Jepang. Militer Jepang yang mempertahankan senjata mereka dan patuh pada konvensi Jenewa 1929, berhadapan dengan semangat kemerdekaan dari seluruh rakyat Indonesia. Di Jawa Barat insiden perlucutan senjata tersebut sempat terjadi tetapi tidak meluas, berbeda dengan di Jawa Timur yang hampir seluruh pejuangnya memiliki senjata rampasan. Perbedaan tersebut ternyata terletak pada lambatnya informasi yang sampai dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.Jawa Barat diuntungkan karena jaraknya yang relatif dekat dengan Jakarta sehingga dengan cepat pemerintah daerah dan pimpinan BKR/TKR dapat mengkonsolidasi anggota pasukannya. Penulisan ini menggunakan metode kepustakaan dan historiografi yang dihasilkan bersifat deskriptif analisis. Untuk mendukung penulisan ini digunakan teori konfrontasi.
The resistance of fighters (paramilitary troops, BKR then the TKR) with the Japanese military in Indonesia was marked by events of disarmament by fighters. Various incident occurred just due to Japan showed a firm stance in colonizing, suddenly all changed with the attitude of surrender to the Allies. For Indonesia, this condition was actually an opportunity to equip themselves in terms of armaments that became an asset to the troops for war. But it was difficult because according to the rules of international law concerning prisoners of war, not only Japanese forces but also entirety of the war equipment were also should be handed. Some areas could receive or seize such weapons, but was later recaptured by the Japanese military. Japanese military retained their weapons and abided by the 1929 Geneva Convention, dealing with the spirit of independence of the entire people of Indonesia. In West Java, the disarmament incident had occurred but did not extend, unlike in East Java, where nearly all of the fighters had looted weapons. The difference lied in the slow of turning up information from central government to the regions. West Java had benefit because it was relatively close to the Jakarta, so the local government and the leadership of BKR / TKR could quickly consolidate the fighters. This study uses literature and historiography that produces a descriptive analysis. To support this study, the theory of confrontation is used.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
DAFTAR SUMBER
Buku
Asmadi, 1985.
Pelajar Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan.
Astuti, Meta Sekar Puji. 2008.
Apakah Mereka Mata-Mata? Orang-orang Jepang di Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak.
Departemen Pendidikan Nasional, 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa. Cet. VII. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottschalk, Louis. 1986.
Understanding History : A Primer of Historical Method, atau Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Cet. V. Jakarta : UI-Press.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2000.
Bandung. Dalam Nina H. Lubis, dkk. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint.
Kuntowijoyo. 2013.
Pengantar Ilmu Sejarah .Cet. I. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasution. 1990.
Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 1: Kenangan Masa Muda. Jakarta : Cv. Masagung.
Oktorino, Nino. 2016
Di Bawah Matahari Terbit. Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia, 1941-1945. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Onghokham.. 1989.
Runtuhnya Hindia Belanda, Cetakan Kedua. Jakarta: Gramedia.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993.
Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Sjamsuddin, Helius. 2007.
Metodologi Sejarah. Edisi Revisi. Yogyakarta: Ombak.
Smail, John R.W. 2011.
Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Bandung: Ka Bandung.
Sufian, Hiroshi Maeda. 1987.
Maeda Memilih Republik. Kisah Perjuangan 1945. Bandung: ITB.
Wanhar, Wenri. 2014.
Jejak Intel Jepang. Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi, Jakarta: Kompas.
Internet
Dokumens, United Nations.
“Gathering a body of global agreements”, diakses dari http://www.un-documents.net/gc-3.htm, tanggal 11 Januari 2017, Pukul 11:35 WIB.
Hermawan, Iwan. “Bandung Sebagai Ibukota Hindia Belanda”, diakses dari http://geohistori.blogspot.co.id/2010/12/bandung-sebagai-ibukota-hindia.html, tanggal 2 Maret 2016, Pukul 10.25 WIB.
Wikipedia. “Konvensi Jenewa”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa, tanggal 11 Oktober 2016, Pukul 09.31 WIB.
DOI: http://dx.doi.org/10.30959/patanjala.v9i1.346
Refbacks
- There are currently no refbacks.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Patanjala Indexed by :
ISSN: 2085-9937 (print)
ISSN: 2598-1242 (online)
Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.