KAMPUNG ANGKLUNG DI CIAMIS: PENJAGA EKOSISTEM BUDAYA ANGKLUNG

Risa Nopianti, Hary Ganjar Budiman

Abstract


Kampung Angklung merupakan perkampungan penghasil angklung yang berada di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sejak tahun 2010 angklung telah menjadi warisan budaya yang diakui dunia melalui konvensi yang digelar UNESCO di Nairobi, Kenya. Oleh Karena itulah diperlukan upaya-upaya untuk terus memajukannya melalui kegiatan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sumberdaya kebudayaan yang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No.5 Tahun 2017. Artikel ini melihat masyarakat di Kampung Angklung dalam upaya menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan angklung yang berkelanjutan. Penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara secara mendalam terhadap para pengrajin angklung di Kampung angklung serta stakeholder pemerintah yang mendukungnya. Ekosistem kebudayaan angklung di Kampung Angklung yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem seperti ekosistem tanaman bambu, pengrajin angklung, seniman angklung, sistem produksi dan distribusi, serta kelembagaan masyarakat, telah berkontribusi terhadap upaya menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan. Ekosistem kebudayaan angklung mampu menjaga kelestarian ekosistem lingkungan, pada saat yang sama mereka juga dapat mengambil manfaat ekonomis daripadanya sekaligus melestarikan kebudayaan angklung.  


Kampung Angklung in Ciamis Regency, West Java is a well-known producer of angklung. Since 2010, angklung has officially become a world-recognized cultural heritage as a result of the UNESCO convention held in Nairobi, Kenya. As a consequence, further steps are needed to continue to advance angklung by providing the activities of protecting, developing, utilizing, and fostering the sustainable resource culture referring to the Law of the Republic of Indonesia Number 5 of 2017 concerning Cultural Advancement. This article describes how the efforts of the people of Kampung Angklung to preserve and conserve the sustainable ecosystem of angklung culture. This research used the qualitative research methods, such as conducting the in-depth interviews with angklung craftsmen in Kampung Angklung, and the government stakeholders who supported the craftsmen. The ecosystem of angklung culture in Kampung Angklung, in which there are various subsystems such as bamboo plant ecosystem, angklung craftsmen, angklung artists, production and distribution systems, and community institutions, has contributed to preserve and conserve the sustainable ecosystem of angklung culture. The ecosystem of angklung culture assured to preserve the environmental ecosystem and, at the same time, to provide the economic benefits while preserving the angklung culture.



Keywords


ekosistem, kebudayaan, keberlanjutan, angklung, bambu

Full Text:

PDF

References


Alimudin. (7 Oktober 2020). Wawancara.

Anoegrajekti, N. (2019). Tradisi Lisan dalam Ekosistem Kebudayaan, Kebijakan Budaya dan Ekonomi Kreatif. Kuliah Umum Prodi Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 30 Agustus 2019. Yogyakarta.

Bilqis, M. (2019). Kajian Jasa Ekosistem Budaya dan Spiritual di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota. 315-326. Bandung: Universitas Islam Bandung.

Nopianti, R., Rostiyati, A., Rusnandar, N., Erwantoro, H., Budiman, H.G. (2020). Pengkajian Sistem Perekonomian Kampung Angklung di Ciamis. Laporan Kajian BPNB Jawa Barat. Bandung: BPNB Jawa Barat.

Gerro, T. K., dan Orenstein, D. F. (2015). Environmental tastes, opinions and behaviors: social sciences in the service of cultural ecosystem service assessment. Ecology and Society, 20 (3), 28-42.

Hermawan, D. (2013). Angklung Sunda Sebagai Wahana Industri Kreatif dan Pembentukan Karakter Bangsa. Jurnal Seni & Budaya Panggung, 23 (2), 109-209.

Indrawardhana, I. (2012). Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan dengan Lingkungan Alam. Jurnal Komunitas, 4 (1), 1-8.

Komariah, A.., dan Satori, D. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Manoppo, P. G. (2015). Mengelola Ekosistem, Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Komunitas Lokal Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal Minahasa (Triangel Pa’dior). Jurnal Manajemen dan Bisnis, 1 (2), 57-71.

Milcu, A. I., Hanspach, J., Abson, D., dan Fischer, J. (2013). Cultural Ecosystem Services: A Literature Review and Prospects for Future Research. Ecology and Society, 18 (3), 44-77.

Nugraha, A. (2015). Angklung Tradisional Sunda: Intangible, Cultural Heritage of Humanity, Penerapannya dan Pengkontribusiannya Terhadap Kelahiran Angklung Indonesia. Jurnal Awi Laras, 2 (1), 1-23.

Rosyadi. (2012). Angklung: Dari Angklung Tradisional Ke Angklung Modern. Jurnal Patanjala, 4 (1), 26-40.

Ruhimat, D. (2020, November). “Ngaujokeun” Angklung Ciamis. Galura, hlm. 1

De Groot, R.S., Alkemade, R., Braat, L., Hein, L., dan Willemen, L. (2010). Challenges in integrating the concept of ecosystem services and values in landscape planning, management and decision making. Ecological Complexity 7 (3), 260-272.

Sarip. (7 Oktober 2020). Wawancara.

Wahyudin, Y., Kusumastanto, T., Adrianto, L., Wardiatno, Y. (2016). Jasa Ekosistem Lamun Bagi Kesejahteraan Manusia. Omni Akuatika, 12 (3), 29-46.




DOI: http://dx.doi.org/10.30959/patanjala.v13i1.731

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.


Patanjala Indexed by :

patanjala google schoolar 

ISSN: 2085-9937 (print)
ISSN: 2598-1242 (online)

 

Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

 Image and video hosting by TinyPicCreative Commons License