SENSOR FILM DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Dalam Perspektif Sejarah (1945 – 2009)

Heru Erwantoro

Abstract


Abstrak
Banyak persoalan di dunia perfilman Indonesia, antara lain masalah
penyensoran, khususnya periode 1945 – 2009. Penelitian masalah tersebut dengan menggunakan metode sejarah menunjukkan, bahwa penyensoran film yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia didasarkan atas kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah. Dalam praktik penyensoran, film masih dilihat sebagai sesuatu yang dapat mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara. Film belum dilihat sebagai karya seni budaya, akibatnya, dunia perfilman nasional tidak pernah mengalami kemajuan. Hal itu berarti penyensoran film yang dilakukan pada periode tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan masa kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, sensor merupakan manifestasi kehendak pemerintah untuk menjaga kredibilitas pemerintah dan masyarakat Eropa di mata masyarakat pribumi. Begitu juga sensor pada periode 1945 – 2009, sensor pun lagi-lagi menjadi ajang perwujudan politik pemerintah, tanpa mau memahami film dari persfektif para sineas. Kondisi itu masih ditambah lagi dengan mudahnya pelarangan-pelarangan penayangan film yang
dilakukan oleh berbagai kalangan. Bagi para sineas, sensor fim hanya menjadi mimpi buruk yang menakutkan.

 

Abstract
There are many issues in Indonesia’s movie industry. One of them is censorship,
especially in the period of 1945-2009. This researh, supported by method in
history, shows that censorship done by the government was based on political and governmental interests. The government thought that films could harm the society and the state as well. They do not think films as products of art and culture, ending up in the stagnancy in Indonesia’s movie industry. This situation more or less is similar to what happened in the time of Dutch colonialism. During that time censorship was manifestation of government policy in showing the credibility of European government and society before native Indonesians. During 1945-2009 censorship was also manifestation of government’s political policy without understanding films from the filmmaker’s point of view. Not to mention the movement to easily ban films by various group in the society. Censorship is a nightmare for filmmakers.

 


Keywords


perfilman, sensor film, movie industry, censorship.

Full Text:

PDF

References


A. Buku

Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Eriyanto.2005. ”Se n s o r d a n Ke b e b a s a n Berekspresi dalam Dunia Perfilman Indonesia”, dalam Irawan Saptono et al. Tidak Bebas Berekspresi: Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Erwantoro, Heru. 1994. Sejarah Perfilman Indonesia Masa Kemerdekaan 1945 – 1994. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian dan Nilai Tradisional Bandung.

Hastuti, Rita. 1992. Berjuang di Garis Belakang dalam Layar Perak: 90 Tahun Bioskop Di Indonesia; Editor Haris Jauhari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Said, Salim. 1976. Perfilman di Indonesia: Sebuah Tinjauan Historis-sosiologis. Jakarta: Skripsi Jurusan Sosiologi Fakul t a s I lmu- i lmu Sos i a l Universitas Indonesia.

Sen, Krisna. 1994. Indonesian Cinema: Framing The New Order. London: Zed Books.

Siahaan, JE. (Kolektor). 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan.

Veronica, Kusuma dan Ignatius Haryanto. 2007. Sensor Film di Indonesia dalam Ketika Sensor Tak Mati-mati (penyunting Ignatius Haryanto). Jakarta: Yayasan Kalam.

B. Undang-undang dan Peraturan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang LSF.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.31/UM.001/ MKP/ Tentang LSF.

C. Surat Kabar dan Majalah

Aneka, 10 Djuli 1954 dan 20 Djuli 1954.

Duta Masjarakat, 5 April 1964

Siasat, 22 Djuli 1951 dan 11 Djuni 1953.

Sinar Harapan, 30 Mei 1965.

Star News, No. 2 Th. 1951, No. 5. Th. 1954, dan No. 14. Th. 1955.

Sunday Courier, 25 November 1951.

Warta Bhakti, 24 Agustus 1964 dan 1 Maret 1966.




DOI: http://dx.doi.org/10.30959/patanjala.v3i2.283

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.


Patanjala Indexed by :

patanjala google schoolar 

ISSN: 2085-9937 (print)
ISSN: 2598-1242 (online)

 

Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

 Image and video hosting by TinyPicCreative Commons License